Sergap Reborn

Kasus Dugaan Penipuan dan Pemalsuan Surat Tanah” Kuasa Hukum Sebut Kasus Klien nya Terkesan Dipaksakan

Kasus Dugaan
Sergapreborn Sampit – Kalteng. Kasus dugaan penipuan dan pemalsuan surat tanah, Mahdianur kuasa hukum Debi Aryati alias Debby Handoko, menyebutkan kasus dugaan penipuan dan pemalsuan surat tanah yang menyeret kliennya tersebut terkesan dipaksakan.

Hal tersebut menurut dia Pelapor maupun Pemohon tidak ada hubungan hukum secara Pidana, melainkan adalah hubungan hukum keperdataan yaitu hubungan atas jual beli tanah.

“Hal ini telah berseuaian dengan KUHPerdata yaitu dalam Pasal 1458 dikatakan bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tertentu beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Artinya sangat keliru Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka,” kata Mahdianur, Kamis, 23 Desember 23 Desember 2021.

Maka dari itu kata dia perkara ini sangatlah dipaksakan untuk menetapkan klien mereka sebagai Tersangka.

“Kami juga sudah tempuh upaya hukum lain yaitu dengan mengajukan Praperadilan kepada Kapolda Kalimantan Tengah, yang mana Putusan Praperadilan pada intinya Menolak Permohonan Pemohon dan juga Menolak Eksepsi Termohon,” ucapnya.

Penyidik juga kata dia saat itu seharusnya mengacu kepada Surat Edaran Kapolri Nomor 8 tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restoratif justice) namun dipaksakan pelesaian Perkara Pidana, sebelum melakukan pemeriksaan terhadap Tersangka.

“Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrin) Polri pada tanggal 08 Agustus 2012 telah mengeluarkan Surat Telegram Kabareskrim Nomor: STR/583/VIII/2012 tentang Penerapan Restorative Justice, surat telegram tersebut yang kemudian dijadikan dasar penyidik polri dalam penyelesaian perkara pengaduan masyarakat dengan keadilan restoratif, hingga Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Prof.H.MUHAMMAD TITO Karnavian, Ph.D pada 27 Juli 2018 menandatangani Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana, bertujuan untuk menyelesaikan perkara dengan pendekatan restoratif justice agar tidak memunculkan keberagaman admnistrasi penyelidikan/penyidikan dan perbedaan interpretasi para penyidik serta penyimpangan dalam pelaksanaannya,” tegasnya

Surat edaran Kapolri tentang Restoratif Justice inilah yang selanjutnya dijadikan landasan hukum dan pedoman bagi penyelidik dan penyidik Polri yang melaksanakan penyelidikan/penyidikan, termasuk sebagai jaminan perlindungan hukum serta pengawasan pengendalian, dalam penerapan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dalam konsep penyelidikan dan penyidikan tindak pidana demi mewujudkan kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat, sehingga dapat mewujudkan keseragaman pemahaman dan penerapan keadilan restoratif (restorative justice) di Lingkungan Polri.

Sementara itu dalam berkas perkara terungkap kalau perbuatan warga Kelurahan Parenggean, Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur itu dilakukannya dari 2013 hingga 2019 hingga menyeretnya ke penjara.

Modus tersangka dengan berpura-pura membeli tanah korban dan setelah sertifikat diserahkan ternyata oleh tersangka tidak dibayar, selain itu agar dapat menjual tanah itu tersangka memalsukan surat kuasa.

Serta sertifikat digadaikan kepada pihak lain tanpa sepengetahuan korban, akibat perbuatannya tersebut korban Hamzah alami kerugian sebesar Rp 1 miliar,” pungkasnya.

( Suryadi )

Exit mobile version