Sergapreborn Jabar Perkembangan teknologi komunikasi yang pesat telah menyentuh hampir semua aspek kehidupan, termasuk dunia jurnalisme.
Dalam menghadapi era kecerdasan buatan (AI), jurnalis dihadapkan pada pilihan untuk beradaptasi atau berkolaborasi dengan teknologi ini.
Fredrich menjelaskan, adaptasi berarti menerima sepenuhnya penggunaan AI dalam proses jurnalistik, sementara kolaborasi berarti memanfaatkan AI secara terbatas untuk hal-hal positif.
AI dapat meningkatkan efisiensi kerja jurnalis, mempercepat analisis data, dan mendukung penulisan berita mendalam (indepth news).
Namun, penggunaan AI harus disertai pengecekan ganda (double cross check) untuk memastikan akurasi informasi.
Peran jurnalis dan gate keeper (redaktur) tetap krusial dalam memastikan kebenaran informasi sebelum disebarluaskan. AI juga tidak dapat menggantikan sepenuhnya peran manusia dalam jurnalistik, terutama dalam hal kreativitas dan etika, terangnya.
Namun, dampak digitalisasi dan penggunaan AI telah menyebabkan beberapa perusahaan media melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun peran jurnalis tidak sepenuhnya tergantikan, pemilik media cenderung memilih efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja manusia.
Selanjutnya, Dr. Dahlan Abubakar, tokoh pers dan akademisi, menambahkan bahwa AI dapat membantu jurnalis muda dalam menghasilkan karya jurnalistik, menyediakan data, dan menganalisis informasi.
Sementara itu, Mitha Mayestika, S.IP, M.IKom, dosen dan mahasiswi S3 jurnalistik Universitas Hasanuddin, menegaskan bahwa AI bukan ancaman bagi fotografi dan videografi jurnalistik.
Meskipun AI dapat membantu dalam pengeditan, kredibilitas dan kejujuran yang dihasilkan oleh fotografer manusia tetap tidak tergantikan, jelasnya.
Kolaborasi antara manusia dan teknologi, serta peningkatan kompetensi, menjadi kunci untuk menghadapi era jurnalisme modern.
